Sabtu, 31 Oktober 2015

 
YO TE AMO!!
(cerpen)

"ini sertifikat rumah nya, pak. Ini yang di jalan alaudin, perumahan Graha Satelit." kata Pak Gatot, marketing Bank BTPN ketika menyerahkan beberapa berkhas sertifikat ke arahku.

Aku yang duduk di sampingnya segera mengambil sertifikat itu dan mulai mempelajarinya. Aku membuka lembar demi lembar, melihat luas tanah dan nama yang tertera di sertifikat.

"kalau yang rumah ini Pak Cornelys mengatas nama kan istrinya yah?" aku bertanya setelah melihat sertifikat, tapi lebih mirip pernyataan sih dari pada pertanyaan. Sebab tanpa aku tanya pun aku sudah tahu, karena yang tertera di sertifikat bukan nama Pak Cornelys Hartawan, selaku Nasabah Bank BTPN yang mengajukan pinjaman kredit, melainkan nama seorang wanita. Dan bisa aku tebak kalau itu adalah nama istrinya. Karena pada umumnya memang seperti itu yang biasa aku dapati.

"betul sekalih, Pak Fadly. Memang yang rumah di Graha satelit diatas namakan istrinya Pak Cornelys" jawab Pak Sokra, pimpinan Marketing yang duduk di bangku depan dekat supir. Aku bertanya sama pak gatot tapi yang jawab malah Pak Sokra, pimpinannya. Pak sokra sempat menatap ku dari kaca spion tengah dan tersenyum. "Memang kalau seorang Appraisel pasti matanya sangat lihai jika memeriksa Sertifikat. Luar biasa." puji Pak sokra.

"Ah Gak pak, ini hanya karena kami sudah terbiasa saja menghadapi seperti ini. Sudah profesi kami sebagai penilai properti harus teliti pak." jawabku sekenanya. Lalu aku tertawa kecil dan pak Sokra pun tersenyum mendengar jawabanku.

Mobil Avanza hitam yang kami naiki sempat menginjak lubang di jalan pettarani dan membuat kami semua sempat terlonjak dari tempat duduk. Aku mendengar pak Sokra langsung menegur driver nya agar ia lebih hati2 membawa mobil.

"Nah ini dia rumahnya Pak." kata Pak Gatot mengumumkan saat mobil kami mulai memasuki pintu gerbang perumahan yang di atasnya tertulis: PERUMAHAN GRAHA SATELIT INDAH.

Ketika driver mencoba memakirkan mobil di depan halaman rumah Pak Cornelys, akupun buru2 merapikan berkhas sertifikat di pangkuanku, memasukkan nya dalam tas ranselku lalu mulai turun dari mobil saat mobil sudah terparkir rapi tepat di depan rumah pak Cornelys.

Rumah pak Cornelys terbilang rumah mewah di banding rumah2 disekitarnya. Berlantai dua dan punya halaman depan dan halaman samping yang lumayan luas untuk bermain basket.

Baru melihatnya saja aku sudah bisa menebak kalau rumah ini baru2 saja di renovasi. Paling tidak dalam kurun waktu dua tahun ini. Itu terlihat dari rumah tetangga2 nya yang masih bangunan asli berlantai satu. sedangkan rumah pak Cornelys sudah dipugar sana sini menjadi rumah berlantai dua yang bernilai milyaran.

Tidak heran untuk seorang pak Cornelys pengusaha batu bata yang memiliki tanah 5 hektar di jalan samata yang diatasnya berdiri pabrik batu bata dengan lima alat berat eskavator yang harganya pun milyaran, jadi untuk rumah seperti ini hal yang wajar dimilikinya. Orang cina memang hebat dalam hal bisnis. Tidak takut mencoba dan tdk takut mengambil resiko.

"ayo masuk pak Fadly" panggil Pak Gatot yang sedari tadi sudah masuk ke dalam ruang tamu bersama Pak Sokra.

Ketika aku masuk di dalam aku sudah melihat Seorang bapak paruh baya, berdarah cina duduk di ruang tamu bersama pak sokra dan pak gatot.

Mungkin ini yang dibilang pak Cornelys. Kataku dalam hati.

Dan benar saja dugaanku.

"Oh ini yang dari Appraisel independent bank BTPN, yah? Dari KJPP mana?" tanya pak Cornelys padaku saat aku menjabat tangannya. KJPP adalah singkatan dari: Kantor Jasa Penilai Publik.

"Dari KJPP Hari Utomo, pak" jawabku sembari tersenyum dengan sopan.

"Siapa namamu?" ia bertanya lagi.

"Fadly, pak."

"Masih kuliah yah?"

"ia pak, masih kuliah, tapi kuliah S2 di Umi".

"Oola sudah S2, toh? Kirain masih S1. Wajahnya masih kayak anak belasan tahun." canda pak Cornelys sambil melempar senyum ke arah kami satu persatu.

"ah, bapak bisa aja. Sudah bawaan begini pak. Mau gimana lagi" ujarku. Spontan pak Cornelys dan Pak gatot serta pak Sokra tertawa berbarengan.

"Oh iya, pak. Saya langsung saja. Ini soal tanah kosong bapak yang di jalan Samata" kataku kemudian. Kembali ke topik utama. "tadi kami ke sana dan saya sudah foto2 tanah bapak juga. Cuman tanah ini kan ada lima sertifikat. Nah, masing2 pasti bentuknya beda, sesuai yang ada di gambar situasi sertifikat. Yang jadi masalah, susunan dan bentuknya itu bagaimana yah? Sebab pasti bapak yang lebih tahu karena bapak yang punya tanah pasti lbh paham letak2nya."

Sejenak Pak Cornelys menggut2. Lalu ia menyuruh ku mengeluarkan sertifikat tanah kosong yang di jalan samata dan mulai mencocokkan nya dan mulai memetakkan layaknya seperti serpihan2 puzzle yang akan di satukan.

Tidak sampai lima menit pak Cornelys berhasil menyatukan lima sertifikat menjadi satu. Gambar tanahnya jika di satukan malah mirip pulau papua, memanjang seperti hewan mamalia.

Setelah mendapatkan gambaran letak tanah2 di jalan samata, aku minta izin ke Pak Cornelys untuk melaksanakan tugasku berikutnya, yaitu menilai rumah mewahnya ini yang ia tempati. Tugasku sebagai penilai atau appraisel di lapangan memang kedengaran mudah, hanya foto2 property yang mau di nilai, kemudian mengukur luasan nya dan di gambar pola rumahnya pada fhom survei yang kami bawa setiap kali kamu turun kelapangan. Hanya itu. Tapi itu baru tahap awal, msh banyak beberapa langkah lagi yang harus di jalani hingga kami bisa mendapatkan data pasar atau nilai pasar rumah tersebut. Kalau aku jelaskan di sini bisa jadi panjang lebar seperti novel. Dan aku yakin kalian pasti akan bosan membacanya.

Aku izin pada pak Cornelys meninggalkan ruang tamu dan mulai mengeluarkan Handphone ku untuk memotret semua sisi rumah pak Cornelys. Semuanya. Mulai dari tampak depan, teras, halaman, ruang tamu, dapur, kamar tidur hingga toilet pun jadi sasaran bidikan kamera handphone ku. Yah, sudah seperti itu tugas kami. Aku memulai dari lantai satu terlebih dahulu.

Kalau mau jujur, arsitektur rumah pak Cornelys tergolong biasa saja, mirip rumah pada umumnya. Hanya saja perabot2nya yang membuatnya tampak mewah dan berkelas.

Aku berhenti sejenak di sebuah kamar di lantai dua. Kamar anaknya pak Cornelys sepertinya. Karena kamar ini dindingnya berwarna pink dan banyak boneka tertata rapi di rak lemari di sisi ruang kamar. Saat aku masuk kakiku menginjak karpet bulu putih yang sangat empuk. Karpet bulu itu hampir menyelimuti seluruh ruang kamar ini. Aroma terapi langsung menusuk hidungku. Harum sekalih kamar ini. Kamar seorang anak perempuan, tidak heran kalau begini harumnya. Aku mulai memotret sana sini dan berhenti di sebuah meja rak yang di atasnya berdiri beberapa bingkai foto.

Kuperhatikan satu demi satu foto2 itu. Dan jantungku serasa berhenti berdetak saat mataku memandang seseorang di dalam bingkai foto di hadapanku ini. Aku meraih bingkai foto itu dan memicingkan mata agar melihat lebih jelas. Sepertinya aku kenal orang yang ada di foto ini. Tapi siapa yah? Aku tidak bisa mengingat nya dengan baik. Tapi aku yakin, wajah di foto ini sangat familiar sekalih di mataku.

Belum juga dapat jawaban siapa orang di dalam bingkai foto itu, tiba2 seseorang masuk dalam kamar ini dan berkata "ada yang bisa aku bantu?".

Aku kaget dan hampir menjatuhkan bingkai foto yang aku pegang. Buru2 aku meletakkan bingkai foto itu pada tempatnya semula dan berbalik menatap orang yang masuk ke dalam kamar ini.

Bukan main kagetnya diriku saat melihat siapa gerangan yang masuk.

"Fanie?"

"kak fadly?"

"Ka..kamu ngapain di sini?" tanyaku kaget.

Fanie adalah seorang gadis yang dua bulan lalu aku kenal di bandara kendari saat aku hendak pulang ke Makassar liburan lebaran kemarin. Dia mahasiswi jurusan farmasi di universitas Hasanuddin, Makassar.

"Loh, mustinya aku yang bertanya, kak Fadly ngapain di dalam kamar ku?" kata fanie dengan wajah bingung.

"Hah? A..apa? Ini kamar mu?" aku kelagapan dan kaget mendengar kata2nya.

"iya, ini kamar ku" Fanie melipat kedua tangannya di depan dada sambil senyum senyum.

"kalau ini kamarmu, jadi Pak Cornelys itu..."

"Ayahku.." jawab Fanie mantap.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar