...Saat itu Farhat baru pulang sekolah dan baru menginjakan
kaki di rumah. Ia melihat semua keluarganya, mama, papa, kak Gary berkumpul di
ruang keluarga. Ya, itu adalah hal yang aneh menurut Farhat, karena jarang
sekali mereka dapat berkumpul bersama. Dan yang bikin Farhat tambah bingung
adalah melihat ekspresi mereka semua. Wajah yang murung, atau amarah? Atau
kecewa? Entahlah, mereka bagai punya seribu wajah. Tak bisa di lukiskan dengan
kata-kata.
Entah mengapa saat itu juga jantung Farhat bekerja tiga kali lipat dari
biasanya. Tubuhnya panas mendadak. Ia tak tau mengapa. Apakah karena aura yang
diciptakan mereka atau bagaimana. Feeling Farhat mengatakan bahwa "there’s
something wrong and maybe the ’wrong’ –thing is me".
“cepat ke kamar mu, ganti baju dan cepat kembali ke sini! Ada yang mau kita
bahas!” ujar mama dingin.
Perasaan ga enak itu semakin kuat.
Semakin dapat Farhat pastikan bahwa, "yeah the problem is on me".
Farhat hanya mengangguk. Berjalan ke kamarnya seakan waktu berjalan sangat
cepat, "oh Tuhan hentikanlah waktu, dan apanbila Engkau ijinkan, maka
putar baliklah waktu" batinnya.
Tapi sepertinya Tuhan sedang tidak berpihak padanya.
Sesaat kemudian Farhat sudah berada di ruang keluarga dimana mereka berkumpul.
Suasana mencekam sangat kentara di ruangan ini.
”a..ada apa..ma?” suara Farhat bergetar, berbisik hampir ga kedengeran.
”kamu gay?” Tanya mama to the point.
DEG….
”apa ma?” ulang Farhat seolah tak mendengar.
”APA KAMU GAY??! JAWAB!!”
Tanya mama mengejutkan Farhat kali ini dengan suara yang menggelegar.
Sudah bisa dipastikan wajah Farhat sangat pucat. Mulutnya terbuka, terlihat
seperti akan menjawab. Padahal tak ada satukata pun yang terlintas di
kepalanya. Saat mendengar mama bertanya seperti itu, serasa Farhat terjatuh
hingga lebih dalam dari dasar lautan. Tubuhnya lemas seperti ada yang
melepaskan tulang2nya.
”a.aaah..apaan sih ma” ujar Farhat akhirnya, sambil mencoba untuk relax dan
tersenyum.
”JAWAB SAJA YA ATAU TIDAK!!” Kata papa, Kali ini papa yang angkat bicara.
Sungguh, Farhat tak pernah membuat orangtuanya semarah ini. Iingin sekali ia
menangis. Rasanya kelenjar air matanya bekerja lebih cepat.
”jika kamu tidak mengatakan apa-apa maka kami simpulkan ya, kamu GAY!” Kata kak
Gery, sekarang kakaknya yang ambil alih pembicaraan. Benar2 terasa Farhat
disudutkan. Ia hanya bisa menunduk.
PPLAAKKK!!!
Sebuah tamparan keras mendarat dgn mulus di pipi nya.
Pipinya panas. Ia raba pipinya. Papa kembali ke tempat duduknya setelah
menampar dirinya sambil memegang dada sebelah kirinya.
Oke, kali ini Farhat tak bisa lagi membendung air matanya. Air matanya dengan
lancarnya mengalir bak air yang mengalir dari hulu ke hilir.
”kenapa Farhat? Kenapa?!” Tangis mama.
Farhat hanya menggelengkan kepala. Ya aku tak tau ma kenapa aku bisa seperti
ini. Seandainya aku bisa memilih jalan hidup, aku tak akan memilih hidup
sebagai gay. Ingin sekali Farhat menjawab itu atas pertanyaan mama, namun,
lidahnya kelu, ia tak ingin lagi menyakiti hati mereka dengan
jawaban-jawabannya. Biarlah aku yang tanggung, cukup aku saja yang merasakan
sakit. Jangan mereka. Batinnya.
”kenapa kamu hanya menggeleng!?” Kejar kak Gery.
Farhat bingung mau menjawab apa. Entah, apakah karena aku gay mereka sampai semarah
itu? Ya aku tau, mereka benci sekali gay. Pikir Farhat dlm hati. Farhat ingat,
Saat itu ia sedang berkumpul bersama di malam yang cerah sambil menonton TV
kabel. Dan kebetulan menayangkan film yang berbau homoseksual. Saat itu juga
mama nyeletuk.
”tuh lihat, gay memang kotor, dengan gampangnya mereka bercumbu, bersetubuh.
Apa mereka tak kenal dosa? Haha mereka memang kotor sekali! Dasar makhluk
bejat!”
”betul banget ma! Ada teman kuliahku yang gay, benci sekali aku, sampe-sampe
aku sering mengerjai dia karena ketahuan suka ngelirik aku!” timpal kak Gary.
”duh! Kamu hati-hati nak, jangan dekat-dekat sama orang seperti itu. Jauhi
mereka! Nanti kamu tertular. Mereka itu seperti virus” sahut papa.
Farhat yang posisinya di atas sofa hanya bisa tertunduk, terdiam. Ingin sekali
ia mengatakan, aku tak begitu ma, pa, kak. Aku tak begitu! Ga semua gay seperti
itu . Aku Gay tapi aku masih menjaga norma2 dan etika. Aku tidak pernah berzina
hanya untuk memuaskan nafsu birahiku. Aku bisa menahan itu semua dgn iman dan
sholatku. Tapi Saat itu Farhat hanya bisa kembali ke kamar dan tidur ditemani
isakan tangis miris dari bibirnya.
”sudah! Lama-lama papa bisa kena serangan jantung kalau disini terus!”
Kata papa.
” ya sudah pa, ayo kita ke kamar saja!” Ujar mama.
”ma, pa, Gary ke rumah teman dulu ya”
Sahut kak Gery.
Mama dan papa mengangguk, lalu mereka masuk ke kamar, sedang kak Gary keluar
menuju pintu. Sebelum keluar, sempat ia melihat kakaknya melirik ke arahnya dengan tatapan sinis.
Hatinya miris.
Serasa teriris.
Rasanya ingin lagi Farhat menangis.
Farhat berjalan lunglai menuju kamar.
Menutup pintu, dan mengunci. Sejenak ia berdiri di depan pintu, melihat
sekeliling kamarnya. Lemarinya yang berisi banyak piala, piagam, dan
penghargaan serta sertifikat dari lomba yang ia ikuti baik itu akademik maupun
non akademik.
Dada ini sesak.
Farhat berjalan pelan ke arah meja belajar. Ia tatap sendu tiap foto yang
terpajang disitu. Ada foto saat Farhat ulang tahun yang ke 4. Ia tersenyum. Ia
ingat sekali ia mendapatkan banyak hadiah dan kak Gary ngiri sekali hingga
sepanjang acara ulang tahunnya, kak Gery cemberut dan setelah acara ulang tahun
selesai, Farhat memberikan sebagian mainannya pada kak gery yang waktu itu
berumur 7 tahun. Lalu Farhat tatap lagi foto di sebelahnya dimana saat kakanya
berumur 17 tahun. Saat itu mereka membuat acara pesta ulangtahun kecilkecilan
di rumah. Saat itu suasana sangat gembira dan penuh suka cita.
Dan masih banyak lagi foto-foto yang ada di meja belajarnya dan ditatapnya
satusatu.
Kenangan masa lalu.
Hatinya pilu.
Tak terasa sudah hampir satu jam Farhat tatapi foto-foto itu sehingga habis
sudah tenaganya.
Ia rebahkan badannya. tertidur.
- – -
Pukul 6 pagi Farhat terbangun. Tumben mama dan papa tidak membangunkanku. Apa
mereka masih marah? Ku harap tidak, pikir Farhat.
Ia keluar kamar dengan suatu perasaan ganjil. Perasaan yang tidak pernah ada
dalam hidupnya saat ia keluar kamar. Ya, rasa takut. Farhat takut sekali untuk
keluar kamar. Namun ia beranikan diri untuk keluar kamar.
Farhat berdiri di depan ruang makan. Mereka bertiga, papa, mama dan kak Gery
tengah asik tertawa ria menikmati sarapannya tanpa dirinya. Namun Farhat
senang, setidaknya sepertinya mereka telah melupakan kejadian kemarin. Maka ia
mulai berjalan menuju meja makan.
Saat mereka melihat Farhat datang, mereka langsung menatapnya terdiam, lalu
dengan segera mereka menyelesaikan makannya dan pergi satupersatu meninggalkan
Farhat di ruang makan.
Farhat tertegun dalam duduk diamnya. Ia segera mengambil piring dengan gamang
dan mengambil nasi goreng. Astaga. Sedikit sekali. Apa mama hanya memasakan
sarapan untuk mereka saja? Hati Farhat miris bagai di sayat sembilu.
Farhat ambil sarapan dan ia mulai makan sendiri di temani isak tangis.
- – -
Hari hari berikutnya tak sama lagi seperti dulu. Mereka menjauhi Farhat ,
seakan ia adalah virus mematikan. Mereka memarahinya, seakan ia selalu membuat
kesalahan yang sebenarnya bukan kehendaknya. Mereka bahkan terkadang tak
memandang wajahnya, seakan ia tidak ada di rumah ini.
Hampir setiap hari, setiap Farhat pulang sekolah, Farhat hanya berjalan menuju
kamar, berdiam diri dan menulis buku harian. Ya, dulu Farhat sangat menjauhi
kegiatan menulis buku harian, karena menurutnya itu sangat useless. Tapi,
sekarang malah Farhat senang menulis buku harian atau diary. Karena hanya
dengan buku itulah ia dapat menuangkan perasaan-perasaan yang sedang ia rasakan
saat itu dan apa yang ia alami selalu ia tulis di buku itu. Buku itu menjadi
teman baru baginya.
Ohya, ternyata di sekolahnya juga sudah tersebar bahwa Farhat adalah gay.
Farhat sendiri sampai sekarang belum tau siapa sebenarnya yang menyebarkan
rahasia bahwa ia gay. Hhhh seingat aku, aku tidak pernah mengatakan pada
siapapun bahwa aku gay, pikir Farhat.
Sekarang, di rumah maupun di sekolah ia mulai dijauhi.
Hanya dua temannya yang mau menerimanya apa adanya. Denis dan Lisa. Farhat
sering curhat padanya.
- 7 tahun kemudian –
Farhat sudah semakin dewasa, ia pun sudah lulus sebagai mahasiswa kedokteran
umum di sebuah Universitas Negeri terkemuka di Makassar. Sedihnya, keluarganya
masih belum mau menerimanya. Sampai wisudanya pun mereka, papa, mama dan kak
Gery tidak datang. Tuhan, cobaan ini begitu berat buat hamba. Pikir Farhat.
bayangkan bagaimana perasaan Farhat saat itu.
Waktu terus bergulir, Sekarang ia sudah bekerja, mengumpulkan uang untuk
mengambil S2 spesialis ortopedi.
Suatu ketika di ruang kerjanya, telepon kantornya berdering.
“Kriiiiinnnnggggg…..”
Ia angkat, ”hei! Cepat datang ke Rumah Sakit ibnu sina di ruangan 312! Kakak mu
kecelakaan!!” suara perempuan entah siapa di telepon terdengar di seberang
sana.
Tanpa menunggu jawaban, Farhat melompat dari tempat duduknya menyambar kunci
mobilnya dan melaju kencang ke RS. Ibnu hidayat... Eh, ibnu sina maksudnya.
(Heheheh).
Sesampainya di rumah sakit Farhat langsung menuju ke kamar dimana kakaknya di
rawat. Disana Ada mama, tak ada papa, mungkin masih di kantor. Satu kata yang
terlintas di kepalanya saat melihat kak Gery terbaring tak berdaya di ranjang
adalah Parah. Di perban di bagian mata, dan di perban di tangan. Kaki disangga,
kanan dan kiri.
Mama terus terdiam, mengacuhkan kehadiran Farhat diruangan itu.
Farhat ingin mendekati kak gery yg terbaring tak sadarkan diri tp niat itu
diurungkannya. Padahal dia kangen sekalih dgn sodaranya itu. Ingin sekalih ia
mendakatinya dan memeluknya. Kak gery, kenapa justru kita harus bertemu kembali
dlm keadaan kaka seperti ini? Batin Farhat.
Tapi Tak banyak yg bisa dilakukannya.
Farhat akhrinya keluar dari ruangan itu dan mencari Dokter yg menangani kak
gery. Dan betapa kaget dirinya mendengar penjelasan bahwa kak gery bakal
menjalani masa pennyembuhan yg lama, bisa hampir dua tahun untuk memulihkan
kembali keadaannya seperti semula. Banyak operasi yg musti dilakukan dan
dipertimbangkan.
Farhat sedih mendengarnya. Ia kemudian mengingat bahwa ia punya sedikit
tabungan dan mungkin sedikit membantu.
Farhat membayar semua biaya operasi dan segalanya untuk kak Gery,lalu beranjak
pergi dari rumah sakit itu sesaat setelah mengintip dari celah pintu hanya
sekedar ingin melihat kak gery. "Kak, Farhat pergi dulu, smoga kak gery
baik2 saja... Jaga mama.." Bisik Farhat lirih pada dirinya sendiri.
- – -
-Dua tahun kemudian-
*RS.Ibnu Sina
Dua setengah tahun sudah Gery mengendap di rumah sakit. Gery berterima kasih
kepada Tuhan yang di kesepiannya masih mau menemaninya dan masih mau memberinya
waktu setengah tahun untuk hidup lebih panjang lagi.
”kemana itu anak!? Dasar Gay tak berguna. Kakaknya sedang sakitpun ia tak
pernah pulang sekadar menjenguk! Hampir dua tahun dia tdk menampakkan batang
hidungnya” omel mama suatu hari di Rumah sakit. Mama acap kali meracau. Ia selalu
memojokkan Farhat yg tidak pernah dating menjenguk Gery dua tahun ini. Farhat seakan
hilang ditelan bumi tdk ada kabar berita.
Tapi lain hal dengan Gery, Yah, semenjak Gery kecelakaan, Gery tak bisa
pungkiri lagi bahwa ia memang kangen dengan adik satu-satunya itu . Terkadang
Gery sering merasa bersalah.
”sudah lah ma, mungkin ia sedang sibuk” bela Gery saat itu.
Kondisi Gery memang membaik, tp matanya tdk bisa terselamatkan, dia buta
sekarang. Tak ada lagi yang dapat ia lihat. Huruf braille jadi makanannya
setiap hari layaknya org buta pada umumnya.
Mama dan papa masih belum mau menerima adiknya sepertinya. Sedangkan Gery sudah
merindukannya. Aku rindu saat kita bermain bersama. Dimana kamu Farhat ? I miss
you brother, batin Gery dalam hati. Diam2 air matanya jatuh bercucuran, dan ia
segera manghapusnya sebelum mama melihatnya…
I’m sorry for everything brother, batin Gary.
Kriiiinnnnnggggg….
Sebuah telpon berdering.
”ma, can you help me? Tolong angkat teleponnya”
Sahut Gery.
“oke”
Gery sedikit menguping pembicaraan mama.
”ya, betul”
”…..”
”apa??!”
”…..”
”oh terima kasih Tuhan! Alhamdulillah.. Terima kasih pak! Kapan bisa
dilakukan?”
”….”
”baik pak! Baik! Terima kasih!”
Mama menutup teleponnya.
”ada apa ma?”
”kamu…kamu mendapatkan donor mata sayang!” terdengar suara mama bergetar. Hati
Gery pun bergetar. Sungguh bahagianya! Ya memang semenjak Gery di vonis buta,
mama meminta dokter untuk mencarikan donor mata untuknya, sayangnya tidak ada
yang cocok hingga akhirnya setelah menunggu sekian lama, Gery akhirnya
mendapatkan juga donor mata itu.
Gery menangis.
Aku jadi ingat adiku. Kembalilah Farhat , kakak ingin melihatmu! :”) dan
kembali mendengar suaramu dan bermain bersama lagi. Ya walaupun aku sudah
tunangan, tapi aku kangen sekali bermain dengan dia. Batin Gery pilu.
”kapan aku bisa operasi ma?”
”minggu lusa sayang”
- – -
Dua hari telah Gery tunggu, kini tiba saatnya baginya untuk melakukan operasi.
Ada rasa was-was dalam dirinya apabila operasi ini tak berjalan dengan lancar.
Ku serahkan semua padaMu yah Allah.
Doa Gery.
- – -
*Pasca Operasi
Kepala Gery pusing sekali. Tubuhnya lemas pasca operasi.
Kesadarannya perlahan mulai membaik. Bisa ia rasakan kaki dan tangannya dingin.
Mungkin karena pengaruh AC atau bisa saja karena aku sedang gugup. Ya gugup
karena banyak hal. Batinnta.
Apakah operasi berhasil?
Apakah aku bisa melihat lagi?
Dimana mama dan papa?
Dimana adikku?
Atas nama siapa mata ini di donorkan?
Hhhh kepala Gery tambah pusing memikirkan hal itu.
Garu tak tau di mana dirinya sekarang, matanya masih di perban sepertinya. Tapi
sepertinya Gery sudah berada di ruang kamar pasien.
Tangan kanannya menghangat, ada yang memegang tanganku. Pikir Gery.
”ma? Apakah itu mama?” Panggil Gery dgn suara parau sekali. Dia Haus.
Tak ada jawaban.
Hening...
”aku haus”
Tiba-tiba ada sesuatu, entah itu selang atau sedotan yang menempel di mulut
Gery. Tanpa pikir panjang ia sedot. Hmmm ternyata air putih.
”mama? Papa? Apakah itu kalian?”
Kembali org itu melepas tangan Gery. Perlahan tangannya kembali dingin.
selang 30 menit, ada yang membuka pintu dan suara orang berbincang.
Sepertinya dokter.
”nak? Bagaimana kabarmu?” Akhirnya Gery mendengar suara Mama.
”mama?”
”iya nak ini mama”
”ma, aku baik2 saja?”
”bagaimana nak? Apa yang kamu rasakan?” tanya seorang lelaki yang Gery yakini
adalah dokter.
”baik, tapi kepalaku terasa pening”
Jawab Gery sekenanya.
”itu wajar. Hmm kamu telah tertidur kurang lebih seminggu. Dan saya rasa
sekarang saatnya untuk kita mencoba membuka perbannya bu.” lanjut dokter.
Ga berapa lama, dokter menyentuh perban di kepala Gery.
”pejamkan matamu ya nak”
Perlahan perlahan dokter melepaskan perban di kepala Gery.
”sudah terlepas perbannya.” kata dokter itu kemudian.
”jangan buka dulu matamu nak, suster, tolong tutup semua tirai dan matikan
lampu besar, nyalakan lampu kecil”
Perintah dokter itu
”baik dok”
”oke, sekarang kamu boleh membuka matamu perlahan saja”
Gery mulai mencoba untuk membuka matanya.
”bagaimana nak?” tanya dokter itu.
”buram dok” jawab Gery lirih. Ada nada kecewa di suaranya.
”sabar ya, kita tunggu beberapa menit. Suster! Tolong nyalakan lampu besar”
Seketika kamar terlihat terang. Gery dapat melihat bayangan mama, dokter, dan
seseorang yang memakai baju putih sepertinya itu suster.
”bagaimana nak?”
”masih buram dok”
Gery mendengar mama terisak.
”sabar bu, ini masih dalam proses adaptasi mata baru" Kata dokter lembut
menenangkan mamaku.
Perlahan tapi pasti Gery dapat melihat dengan jelas.
”dok…”
”ya?” dokter dengan segera langsung menghampiri Gery.
”aku bisa melihat jelas!” sahutnya girang.
”syukurlaaah!!!! Alhamdulillah.. !” pekik mama bahagia. Gery melihat ia
menangis bahagia.
Ya! Dapat kulihat. Semua dapat ku lihat. Cahaya, warna berbaur menjadi satu.
Dapat lagi kulihat dunia. Sungguh hatiku sangat senang. Batin Gery.
”suster! Tolong ambilkan cermin!” kata dokter itu.
”baik dok!” dengan cekatan, sang suster kembali lagi dengan sebuah cermin dan
memberikannya ke dokter.
”nak, coba kamu lihat di cermin.”
Ia menyodorkan cermin ke arah muka Gery. Ia melihat bayangan mukany disaana. Ia
memperhatikan mata barunya. Mata barunya.
Mulut Gery terbuka lebar hingga membentul huruf O, ia kaget. Mataku indah
sekali! Pikirnya. Ya tak bisa kupungkiri bahwa mataku indah. Warnanya, biru
kehijauan. Berkilauan.
”bagus sekali ma matanya!” Ujar Gery takjub.
”iya nak!”
”dokter, kalau boleh apakah saya boleh tau atas nama siapa mata ini di
donorkan? Saya sangat ingin mengucapkan terimakasih” mama angkat bicara.
”nanti saya akan berikan nomor dan kalian bisa tanya kepadanya atas nama siapa
mata ini di donorkan.”
***
-14 minggu kemudian-
*Kediaman
Suherman, ayah Farhat.
”maaa, ada tamu!” Teriak Gery.
”ya naak.” mama segera keluar dari kamarnya dan menyusul ke ruang tamu.
”ini ma, dokter Hendra,” kata Gery.
”ohh selamat pagi pak dokter. Silahkan duduk. Mau minum apa?” Sambut Mama.
”pagi juga ibu, teh saja bu”
”baik. Silahkan dulu berbincang-bincang dengan anak saya, saya akan buatkan
teh”
”maaf bu jadi merepotkan”
”tak apa”
Mama tersenyum dan bergegas ke dapur untuk menyiapkan teh.
”jadi.. pak dokter tau atas nama siapa mata ini di donorkan?” Tanya Gery segera
tanpa basa basi.
Pak dokter itu hanya mengangguk. Ia lantas mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
”ini barang yang beliau tinggalkan” kata Dokter. “itu barang orang yg
mendonorkan matanya padamu..”
Ia menyodorkan sebuah map besar coklat terlihat tebal.
”apa ini dok?” tanya Gery setelah menerima map itu. Heran dan penasaran.
”buka saja”
Gery membuka map itu, di keluarkan isinya, sebuah buku, entah buku apa, dengan
sampul berwarna coklat juga. Hmmmm dan ada satu map coklat lainnya yang
ukurannya lebih kecil. Duh cinta coklat banget sih. Pikir Gery.
“apa boleh ku lihat?” tanya Gery hatihati ke dokter.
“tentu” kata dokter itu tersenyum.
Gery membuka buku itu.
Seperti halnya buku pada umumnya, buku itu dipenuhi tulisan tulisan. Sepertinya
ini diary.
Ia mulai membaca buku itu:
*Kamis 14 november 1992
*Mungkin akan terdengar lucu, aku dulu
sangat enggan untuk menulis catatan harian seperti ini, aku selalu menjauhi hal
ini. Tapi entah mengapa justru sekarang aku yang mendekati kegiatan ini dan
mulai menyukai kegiatan ini di kala semua orang menjauhi diriku.
Ya, kini, hari ini juga, hariku berubah. Hari-hariku berubah 180 derajat.
Setelah mereka mengetahui sebuah rahasia terbesar yang ada pada diriku. Rahasia
yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Akhirnya terbuka. Terbuka dalam artian
ya, bernar-benar terbuka*
ASTAGA ini???? Gery memegang mulutnya. Jangan2 ini buku harian milik... Ooohh
Tuhan.
Ia kembali membaca:
*Semua orang, orangtuaku, teman-teman ku
sudah mengetahui segalanya. Aku sendiri bingung mengapa bisa rahasia ini
terungkap. Padahal aku tak pernah melakukan hal yang macam-macam. Sekarang,
saudaraku bahkan menjadi musuhku. :’( terdengar ironis memang, saudara satusatunya
yang paling aku cintai, kak Gary, sekarang menjauhiku. Seperti aku ini adalah
virus mematikan yang harus di musnahkan*
Sementara membaca, Mama datang bergabung membawa air minum untuk dokter.
“kamu baca apa sayang?” Tanya mama.
Gery tak dapat menjawab. Ia terus membaca buku itu:
*Hhhh sungguh saat itu aku kaget sekali
saat pulang sekolah, mama dan papa serta kak Gary ada di ruang keluarga,
seperti menantiku untuk dihakimi. Perasaanku sungguh kacau saat itu. Perasaan
tidak enak udah mengalir. Hmmm namun apa daya? Aku tak bisa lagi berlari,
diary. Apalagi saat mama bertanya “apakah aku gay?” aku tak dapat berkata, saat
itu aku sungguh seperti terjun bebas dan jatuh ke lubang yang lebih dalam dari
samudra. Gamang. Hampa. Banyak pikiran berkecamuk, sangking banyaknya sampai
aku tak dapat lagi berpikir. Aku ingin menjawab setiap pertanyaan yang mereka
ajukan, namun aku tahan. Sudah cukup aku mebuat kecewa mereka segitu dalamnya,
cukuplah, tak perlu lagi aku tambah masalah. Aku ingin sekali meminta maaf, tapi
aku takut sekali. Takut mereka tak mau menerima maafku. Aku tak sanggup lagi
bila tak mendapat maaf dari mereka, maka aku urungkan niatku untuk minta maaf*
“kamu baca apa sih say?”
“ini….ini..diary ma, ayo kita baca bersama” jawab Gery mendekatkan buku harian
itu ke arah mama agar mama bisa turut baca.
Mata Gery memanas. Dimanakah engkau adikku? Batinnya pilu dan mulai membaca:
Selasa 21 maret 1993
Ya benar aku nyatakan bahwa hidupku tak lagi sama. Sudah berbulanbulan sejak
kejadian itu, mereka tak lagi mau menerimaku. Teman di sekolahpun aku tak ada,
hanya daniel dan Lisa lah yang masih mau menerimaku. Aku sangat berterimakasih
kepada mereka.
Apakah menjadi seorang gay salah? Toh itu bukan jalan hidup yang aku mau pilih?
Apabila aku dapat memilih jalan hidupku, tentu aku tak mau hidup seperti ini.
Terkadang aku bingung sama Tuhan, ia yang menciptakan manusia dengan berbagai
karakternya, termasuk straight, gay, lesbian, and bisexual. Tapi mengapa Ia
hanya menghalalkan straight? Apakah kaum gay lesbian dan bisexual mahluk
sampah? Kenapa Tuhan yang menciptakan tapi Ia justru juga melarang? Mengapa Ia
membiarkan ada rasa seperti ini di dunia?
Aku bingung. Sejenak aku berpikir bahwa aku akan mengakhiri hidupku, namun
entah mengapa aku tak bisa. Aku tak bisa meninggalkan dunia ini dengan segala
masalah yang aku perbuat*.
“mah,,, ini,, diary Farhat” Gery menatap nanar mama. Mama terlihat seperti menerawang.
Mereka melanjutkan bacaannya.
*Selasa 12 april 1993
Happy birthday papa! Aku ingin sekali
mengucapkan itu di depan papa langsung namun aku tak bisa. Mereka tak
menginginkanku lagi. Lagipula aku sudah tak punya muka lagi di hadapan mereka.
Maka aku hanya taruh surat ucapan selamat ulang tahun tanpa memberikan nama,
dan juga sebuah kado di depan kamar papa di subuh hari. Hadiah yang aku berikan
adalah jam tangan Swiss Army yang dulu papa idamkan. Aku sudah menabung lama
untuk dapat membelikan papa hadiah itu. Maaf pa, aku telah mengecewakan papa.
Aku sungguh tak berniat sekalipun mebuat papa kecewa. Semoga papa umur panjang
:’)
Aku sengaja tak mencantumkan namaku di surat tersebut karena ya, kalau aku
mencantumkannya, pasti papa akan tidak sudi menggunakannya. Aku senang sekali
saat aku mengintip dari pintu kamar di pagi hari, papa dengan gembira
menggunakan jam tangan itu dan memamerkannya ke kak Gary dan mama.
Selasa 2 oktober 2000
Mama!! Papa!! Kak Gary! Aku lulus menjadi sarjana kedokteran umum dengan
predikat terbaik! Cum laude!! Aaaaaaaa aku senang sekali. Aku ingin sekali
memeluk mama dan papa seperti yang teman-teman ku lakukan saat wisuda. Namun,
sayangnya mama dan papa ataupun kak Gary tak datang ke acara wisudaku. Sungguh
sedih sekali. Aku hanya bisa menangis dan berjalan ke toilet agar tak merusak
suasana sukacita teman-temanku.
Kamis 16 juli 2002
Aku kaget sekali ketika mengetahui bahwa kakakku kecelakaan! Panik diriku. Ya
Tuhan, jangan dulu kau ambil nyawa kakakku, aku sangat menyayanginya, walaupun
jarang aku bertemu dengannya tapi aku sangat rindu padanya*
Air mata Gery turun tanpa dapat ia cegah.
*Aku mengunjungi kakakku. Disitu ada mama
juga, aku tersenyum secara spontan. Ingin sekali aku peluk mama seperti aku
memeluk mama waktu aku masih kecil, namun sepertinya mama masih tak mau
menerimaku.
Aku sedih sekali ketika melihat kak Gary terbaring tak berdaya di ranjang
pasien. Apalagi setelah mengetahui bahwa kakakku sudah di vonis dokter akan
buta permanen. Segera aku keluar dan mencari dokter yg menangani kak Gery. Aku
tanya biaya dan kemungkin berapa lama sembuhnya. Bukan main kagetnya aku
mendengar biaya dan lamanya kak Gery akan dirawat di rumah sakit, yaitu dua
tahun. Aku memutuskan megghabiskan smua tabunganki yg sdh aku kumpul untuk
mengambil S2 ku. Aku korbankan smuanya demi kaka tersayangku. Aku sangat
mencintai kak Gery. Andai aku bs memeluknya saat ia di rumah sakit, tp aku tdk
bs. Aku sudah 'dibuang' oleh mereka, oleh keluargaku sendiri*.
Gery terisak. Air matanya tak terbendung lagi.
*Saat itu sepulang dari rumah sakit
setelah membayar biaya pengobatan kak Gery tibatiba tulang2 di punggungku sakit
sekali. Sakitnya tdk tertahankan. Tak dapat ku lukiskan betapa sakitnya
tulangtulang di sekujur tubuhku, aku tak tau mengapa.
*Rabu 24 november 2002
Belakangan ini aku sering sekali
mengalami sakit yang amat sangat di setiap pertulanganku. Akhirnya aku
periksakan keadaanku ke dokter tulang.
*Jumat 26 november 2002
Aku dapatkan hasil tesku kemarin rabu, aku kaget sekali saat membaca hasil tes
ku. Ternyata aku mengidap kanker tulang stadium 3. saat itu juga hidupku
kembali berkecamuk. Tak ada selera untuk hidup. Dan kata dokter aku harus sudah
mulai berbaring di tempat tidur untuk jangka waktu yang lama, untuk perawatan.
Aku memikirkan biaya yang keluar untuk perawatan itu. Untung aku ada asuransi
jiwa dan sisa tabunganku. Yahhh maaf maa, tadinya aku mau beliin mama mobil
baru hadiah ulang tahun mama yang ke 47, tapi sekarang itu hanya tinggal
impian, karena tabunganku harus ku pakai untuk berobat.
*Minggu 19 januari 2004
Aku sudah mulai menetap di rumah sakit. Aku akan terus berbaring tak berdaya di
sini. Aku sering menatap hampa langit-langit kamarku. Kemarin dokter bilang
bahwa aku hanya bertahan hidup tinggal 2 tahun lagi. Maka dari itu, tiga hari
yang lalu, aku meninggalkan kotaku makassar dan ingin sekalih berpamitan dgn
mama papa dan kak gery. Tp itu tdk mungkin. Aku sdh seperti 'sampah' dimata
mereka*.
Gery berhenti membaca. ia melihat mama menitikkan air mata. Begitu pula
dirinya. Tak kuasa Gery membaca tulisan ini. Namun dirinya penasaran. Sungguh!
*Tapi tenang, aku punya kejutan yang tak
kalah menarik untuk kalian
*Senin 20 januari 2004
*Harun datang ke kamar ku. Dia adalah pria yang aku cintai. Pria nakal. nakal
dalam artian benarbenar nakal. Hmmm dia pujaan hatiku ma, pa. Begitu elok
parasnya, tampan sekali. Putih, kurus dan tinggi. Ideal ku bangat. Ia adalah
temanku di SMA dulu. Aku tak tau apa yang membuat ia datang kemari, padahal
dulu ia adalah salah satu orang yang selalu menghinaku di sekolah saat semua
tau aku Gay. Ia bilang, ia membawakan satu berita untukku. Namun berita yang ia
bawakan ternyata tak setampan wajahnya (?) hehhehhe. Ternyata dia yang telah
membeberkan rahasiaku.
Astagfirullah.
Dia juga minta maaf. Aku tanya dia, dari mana dia tau bahwa aku gay. Dia
bilang, tak sengaja melihat catatanku disalah satu buku tulisku di sekolah yang
bertuliskan bahwa "aku sangat cinta pada Harun, harun pujaanku".
Aku kecewa dan menangis pelan, namun aku tak bisa lagi marah padanya, semuanya
sudah terjadi dan terlanjur menjadi bubur, tak bisa diubah lagi menjadi beras.
Aku memaafkannya, dan ia berjanji padaku akan menjagaku di sampai hari
terakhirku*.
Gery berhenti membaca, ia menatap Dokter Herman dengan sedih, serasa ingin berkata "ini Diary adikku, dok, dimna dia sekarang??" tapi bibirnya keluh, tak ada kata-kata yg keluar.
“saya, dokter Herman adalah pengurus dari Farhat suherman” kata Dokter Herman. “Di
saat terakhirnya, kami sedang berupaya untuk tetap memompa jantungnya agar
tetap berdetak. Namun, struktur tulangnya sudah rusak sedangkan banyak pembulu
darah dan syaraf penting yang melekat pada tulang. Sehingga, nak Farhat tak
lagi dapat hidup. Ia meninggal pada hari kamis 30 november 2006. dan empat
bulan sebelum meninggalnya, dia sempat memberikan saya wasiat agar matanya di
donorkan untuk kakakknya yang bernama Gary Suherman. Untungnya segala
persyaratan donor mata terpenuhi sehingga dapat di donorkan.”
Air mata Gery sudah tak perlu ditanya lagi, begitu pula mama yang menutup
wajahnya dengan sepasang tangannya, tak bisa ditutupi bahwa mama menangis.
“jadi dok, mata ini…”
“ya, mata yang sekarang ada padamu adalah mata adikmu”
Tangisan Gery pecah. "Tidaak"
Pintu terbuka dan papa tiba2 masuk. Papa kaget sekali dengan apa yang terjadi
di ruang tamu.
“pagi, pak” sapa sang dokter ke papa.
“ya pagi. Tadinya saya mau mengambil dokumen penting yang tertinggal. Tapi, apa
yang terjadi di tempat ini?” Tanya papa bingung.
“pa!! Ini…ini..mata ini.. adalah milik Farhat” kata Gery.
“apa?! Coba sini papa lihat!”
Papa segera mendekatinya dan menatap mata Gery lekat-lekat. Perlahan dia
menitikan air mata.
“ya, ini adalah mata Farhat, ayah ingat sekali ia memiliki mata yang berbeda,
matanya biru laut kehijauan…..” papa hening sejenak.
“….bodohnya papa!! Bodohnya tidak mengetahui bahwa ini adalah mata anakku
sendiri!! Lantas dimana anakku Farhat???!” tanya papa panik.
“maaf pak, Farhat sudah wafat november lalu. Waktu itu dia bersikeras agar
matanya dapat di donorkan ke kakakknya. Sungguh, saya sendiri yang bukan bagian
dari keluarganya sungguh terharu. Selain pada diary itu, dia telah menceritakan
semuanya kepada saya apa yang terjadi. Maaf pak, bu, bukannya saya mau ikut
campur. Tapi, sebagaimanapun dan seperti apapun anak yang Anda miliki, itu
adalah titipan dari Tuhan. Sekiranya kita sebagai orang tua mau menjaganya dan
menerima anak sendiri dengan lapang dada. Dia adalah anak yang baik dan
berbakti”
Dokter Hendra pun ikutan menitikan air mata.
“saya melihat seperti apa perjuangannya melawan penyakit, dia adalah seorang
lelaki yang tangguh. Ia mampu bertahan. Waktu itu saya vonis dia hanya bisa
hidup selama 2 tahun, namun dengan tekadnya yang ingin tetap hidup membuat ia
mampu bertahan hingga setengah tahun lamanya.” Lanjut dokter Hendra.
“ya dok, dia anak yang baik!” kini mama ikut berbicara di sela tangisnya.
“dia tak pernah sekalipun mengecewakan kami, dia selalu menjadi penengah, dia
selalu bisa membuat bangga dengan segala prestasinya. Namun, hanya karena ia
gay kami jadi memojokkan dia. Saya sangat menyesal” tangisan mama pecah
“aku sendiri tak bisa membayangkan dia wisuda tanpa pendamping dari keluarga”
ujar Gery tersendat, “predikat yang ia dapatkan pun adalah cum laude.” Lanjut
Gery.
Mereka pun segera menuju ke tempat dimana Farhat di kuburkan. Mereka sangat
menyesal. Sungguh, mereka sangat menyesal. Rasa dosa menjalar di hati mereka
semua. Tangisan tak dapat lagi di bendung. Disaat Farhat wisuda tak ada yang
datang. Disaat Farhat sekarat tak ada yang menemani. Di hari terakhirnya pun
tak ada sanak saudara yang mendampingi, hingga di hari ia dikuburpun tak ada
yang hadir. Sungguh penyesalan ini melekat erat di dada mama papa dan Gery.
Maafkan kami Farhat, maafkan kami. Sungguh.batin Gery pilu.
Mama jatuh pingsan saat melihat batu nisan bertuliskan Farhat Suherman.
Perasaan bersalah menghinggapi mereka satu persatu.
Maafkan kami Farhat. And thanks a lot for The Eyes. Aku dapat merasakan
kehadiranmu, aku senang sekali setidaknya ada bagian dari dirimu yang ada pada
diriku. Maafkan aku adikku, kami menyanyangimu dek...
***
Terima kasih sdh membaca tulisan_koe.
Ikuti kisah lainnya terus di blog ini.
Saran dan sanjungan jgn lupa tulis di bawah.
Salam hangat dari sahabatmu!
Fadly Affandy.