Senin, 25 Februari 2013

"DAUN KERING"


"DAUN KERING"

Bunyi rintik hujan di genteng bersahutan dengan bunyi guntur yang menyambar-nyambar. Daun-daun menari bergesekan di tiup angin. Rerumputan meringkuk dalam basah. Air berlarian masuk selokan bersama daun-daun kering, ranting dan sampah.

Dua orang tua itu duduk membisu di beranda rumah mereka. Rumah tembok yang sederhana dengan dinding tegel berwarna coklat gelap yg beralamat di ja...lan pemuda itu adalah rumah dengan perawatan yg baik dan sejuk. Itu terlihat dari penataan bunga-bunga dan tanaman hidup lainnya yg mengalirkan nyawa kehidupan hijau. Bahkan dalam guyuran hujan rumah itu tetap tampak hangat dan bersahaja.

Sesaat lama kedua orang tua itu duduk berdua dalam kebisuan. Keduanya memandang ke depan. Ke arah halaman dan jalan. Tiba-tiba tampak seorang anak kecil berusia lima tahun berlari-lari bermain hujan dengan riangnya di depan rumah mereka. Ibu sang anak yg agak gemuk dengan gemas mencoba mengejar dan menangkap, tetapi sang anak seperti ingin memainkan Ibunya. Ia sepertinya tahu sang ibu akan kesusahan mengejarnya karena memegang payung.

"Main hujannya sudah cukup Le. Nanti masuk angin!"

Sang anak sama sekalih tidak menghiraukan. Sang ibu semakin geram dibuatnya, maka ia tutup payungnya dan mengejar anaknya itu secepat-cepatnya. Tetapi sang anak lebih cepat Larinya.

Jadilah adegan kejar-kejaran ibu dan anak di tengah hujan. Para tetangga melihat hal itu jadi tersenyum dan cekikan.

Dua orang tua itu juga tertawa di beranda rumah mereka. Kebisuan di antara keduanya dipecah oleh tawa.

"oalah, si minah, sudahlah biarkan saja! Bocah mau hujan-hujanan biar saja. Nanti klo sudah kedinginan Pasti pulang sendiri!" kata lelaki tua itu pada tetangganya yg masih kejar-kejaran dengan sang anak.

"Gak usah teriak-teriak Pak, si Minah juga tidak dengar. Biarkan saja ibu sama anaknya itu biar kejar-kejaran kita tonton dari sini. Malah jadi hiburan toh." sahut orang tua yg perempuan.

"Ah, kalau aku punya cucu, akan aku ajak dia hujan-hujanan. Dia Pasti senang."

"Ah, yg benar pak? Sekali hujan-hujanan nanti sakitnya Lima hari. Lha, bapak ingat, kemaren ini kehujanan sedikit saja waktu pulang dari pasar senggol langsung masuk angin?"

"Oo, Kalau ada cucu beda bu. Beda. Cucu itu bisa nambah semangat dan mengalirkan kekuatan baru."

"Gitu yah Pak?"

"iya. Kalau ada cucu kita tidak cepat tua. Tapi tidak ada cucu rasanya cepat sekalih kita tua. Bahkan pintu kubur seprti ada depan mata."

"Ah, yah ndak usah bicara Seperti itu toh pak. Ndak Baik!"

"Bukan begitu Bu. Aku ini kok khawatir Kalau sampai tidak bisa melihat anak ku itu duduk di pelaminan, apalagi ngarap cucu dari dia."

"siapa Pak? Sahid maksudnya?"

"Yah siapa lagi? Anak kamu itu sudah cukup umur. Bahkan sudah dibilang lewat untuk menikah. Apalagi sih yang anakmu itu tunggu? Keburu masuk dalam tanah nanti kita bu."

"wuussh., Astagfirullah, Pak. Gak usah ngomong seperti itu. Ndak pantas."

Perempuan tua itu berucap isthigfar berulang kali di bibirnya yg sudah keriput di makan usia.

"Aku yakin dia Pasti menikah pak!"

"iya, tapi kapan? Dia terlalu larut dengan kerjaannya yg gak jelas itu."

"Gak jelas gimana? Wong dia kerja di perusahan 'ternama' toh pak. Perusahaan besar."

"Memang besar bu. Tapi anak mu itu kan sudah gagal dua kali pengangkatan karyawan. Katanya gejala apa? hepatitis? Hallah, itu bisa-bisanya perusahaan saja. Lah klo tidak bisa yah bilang toh tidak bisa, biar anak ini cari kerjaan lain. Dari pada ngarap ndak jelas. "

"Huuuss.. bapak jangan souzon begitu."

"bukan souzon. Bapak ini hanya ingin semoga anakmu itu dapat kerjaan tetap dan bisa segara ke pelaminan. Padahal klo dia mau kita bisa membantu biaya pernikahannya. Dan soal calon, Kali ini terserah dia, siapa saja wanita yang dia pilih, yang jelas segara menikah. Wong sudah hampir Kepala tiga masih saja bujang. Keburu jadi 'DAUN KERING'."

Keduanya lalu terdiam.

Hujan di luar sana semakin deras saja. Dingin sedingin hati lelaki tua yang memikirkan anak lelakinya yang belum melepas bujangnya.

"jam berapa, bu? Anakmu belum pulang juga?"

"jam 5 lewat 40 menit pak. Mungkin sedikit lagi. Kalau bapak mau masuk, masuk saja, biar ibu disini tunggu Sahid. Jam segini biasanya dia sudah pulang."

"ya sudah, bapak mau siap Magrib. Klo anak mu datang bilang malam ini bapak mau bicara. Berdua. Ba'dah isyah."

Perempuan tua itu hanya tersenyum sambil mengganggukkan Kepala sebagai jawabannya.

Tak lama yang ditunggupun datang.

Sebuah motor bebek Jupiter Yamaha Hijau berhenti dan terparkir depan pagar rumah. Diatas 'kuda besi' itu duduk seorang pria dengan jas hujan berwarna biru, turun dan berlari mendekati pagar.

Sang ibu mendekati pagar dan membukanya lebar-lebar. Dengan cekatan pemuda itu membuka jas hujan dan mendorong masuk motornya yg penuh dengan lumpur.

"Ayahmu ingin bicara." kata Ibunya to the point saat Sahid masuk kedalam rumah menaruh jaket di tempat gantungan baju dekat ruang keluarga.

"tentang apalagi bu? Nikah? Aku kira sudah kita bahas ini berulang-ulang."

Ibunya hanya menatapnya. Tatapan iba yg meneduhkan.

"iya nak. Kapan kamu siap?"

"bu, secara lahiriah aku siap bu. tapi secara materai aku belum."

"tapi rezeky tidak ada yang tahu nak, Insyallah setelah nikah Rezky akan mengalir. Dan bapak mu akan membantu biaya pernikahan termasuk..."

"Bu, berapa kali aku harus bilang, Aku akan menikah dengan uang ku sendiri. Aku tidak mau menyusahkan. Sudah bu, aku mau ke masjid. Sudah adzan. Assalamualaikum... "

"Wa'alaikumsalam .."

Sahid mengambil peci hitamnya yang tergeletak diatas TV dan melangkah keluar rumah menuju Masjid dengan payung rewot bertuliskan "KOMPAS GRAMEDIA".

***
Penulis cerita: @fadlyragent



#All coment in Facebook:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar